Matangaji |
Matangaji
adalah gelar yang melekat kepada Sultan Sepuh Shafiudin, Sultan Cirebon yang
berkuasa di keraton Kasepuhan tahun 1773-1786. Beliau merupakan sultan ke-5
yang berkuasa di Kraton kasepuhan setelah kesultanan Cirebon dipecah menjadi tiga
di tahun 1667 yakni Kraton Kasepuhan, Kraton Kanoman dan yang ketiga adalah
Panebahan Cirebon yang tidak memiliki keraton ataupun daerah kekuasaan.
Matangaji
juga merupakan nama sebuah desa di kecamatan Sumber di Kabupaten Cirebon.
Sultan Shafiudin Matangaji dan Desa Matangaji memang memiliki keterkaitan
sejarah yang sangat erat. Cerita tutur menyebutkan bahwa desa Matangaji memang
merupakan basis dakwah Sultan Shafiudin.
Kesultanan
Cirebon dan VOC (Belanda) menandatangai perjanjian kerjasama perdagangan pada
tanggal 7 Januari 1681 dan sejak itu VOC senantiasa melakukan tekanan politik
kepada Cirebon untuk mendapatkan keuntungan sebesar besarnya. Dapat difahami
bila kemudian Sultan Shafiudin bersama beberapa tokoh
lainnya secara diam-diam meninggalkan Keraton pergi ke daerah pedalaman yang
sulit diketahui VOC.
Nama nama
daerah di kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon secara tidak langsung memberikan
rangkaian cerita perjalanan Sultan Shafiudin. Dimulai dari Kampung atau blok
Capar yang artinya Capai (capek) dan Lapar yang merupakan tempat persinggahan
rombongan beliau untuk melepas haus dan dahaga. Nama Kampung Blok pesantren
terkait dengan pesantren yang pernah beliau bangun di daerah itu.
Menyusul
kemudian nama Sidawangi terkait dengan pesantren yang beliau bangun terkenal
kemana mana hingga mengharumkan daerah tersebut. Sida artinya menjadi dan wangi
artinya harum. Sultan Syaefudin meninggalkan Desa Sidawangi menyusuri
hutan ke sebelah barat lalu
membuat pesanggrahan kecil tempat beristirahat bersama para pengikutnya. Tempat itu
sekarang disebut Blok Pedaleman, artinya tempat istirahat para dalem atau orang
keraton termasuk Sultan Shafiudin.
Disana
beliau kembali mendirikan pesantren dan santrinya berdatangan dari berbagai pelosok. Kepada santrinya
beliau menganjurkan apabila belajar mengaji jangan tanggung-tanggung, harus
sampai matang, dan menggunakan mata hati. Itulah sebabnya hingga sekarang
daerah ini dinamakan Desa Matangaji.
Menilik
banyaknya daerah yang namanya terkait dengan perjalanan beliau dapat di duga
bahwa perjalanan itu memakan waktu cukup lama. Catatan sejarah menyebutkan
bahwa masa berkuasanya Sultan Shafiudin hanya 13 tahun saja, sehingga bisa jadi
perjalanan tersebut sudah dimulai sejak beliau belum naik tahta sebagai sultan
di keraton Kasepuhan.
Terlebih
lagi bila kita menelusuri legenda ditengah masayarakat tentang beliau, yang
disebut sebut, datang ke (desa) Matangaji tidak sekedar untuk mengajar mengaji
tapi juga meneruskan kekuasaan leluhurnya sebagai penakluk ‘mahluk halus’
wiayah barat pulau jawa yang berpusat di Matangaji.
Bagi
masyarakat luas di Nusantara, secara umum difahami bahwa seorang sultan tidak
hanya merupakan penguasa ‘wilayah lahir’ tapi juga merupakan penguasa di
‘wilayah bathin’. Pusat kekuasaan ‘mahluk halus’ di matangaji pertama kali
ditaklukkan oleh Raden Kian Santang, kemudian diteruskan oleh Keponakannya yang
tak lain adalah Syarif Hidayatullah sampai kemudian diteruskan oleh Sultan
Shafiudin.
Di titik
penaklukan itu ditandai dengan sebuah cawan, tempat menampung air kehidupan,
banyu panguripan, tirta mala. Meski kau tak kan menemukan setetespun air disana
maupun disekitar tempat itu.
Dimanakah tiga
tokoh yang disebut namanya itu dimakamkan?. Saya tidak bisa menjawab dengan
pasti pertanyaan tersebut. Hanya saja dalam buku tentang komplek pemakaman astana
Gunung Jati di Gunung Sembung, disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah alias
Kanjeng Sunan Gunung Jati dimakamkan di area inti astana gunung jati. Begitupun
dengan Sultan Cirebon para penerus-nya. Hanya saja, ada satu kebijakan dari
kesultanan bahwa hanya keluarga kesultanan saja yang diperkenankan masuk ke
dalam Astana Gunung Jati.
Namun
menariknya lagi, di matangaji ada satu makam yang cukup unik. Tak terlihat
lawas karena sepertinya senantiasa dirawat, meski dengan nisan yang khas,
senada dengan semua nisan makam lainnya yang ada di komplek pemakaman itu.
Hanya saja makam satu ini tidak sejajar dengan makam lainnya. Bila makam
lainnya (menghadap kiblat) kira kira membujur utara – selatan, makam yang satu
ini malah membujur barat ke timur.
Konon, saat
dimakamkan posisi makam ini sama seperti makam lainnya. Namun setelah prosesi
pemakaman usai, makam tersebut berubah sendiri ke posisinya sekarang ini. Konon
kata “pewaris katanya”, kuburan satu itu sudah beberapa kali diperbaiki
disesuaikan dengan kuburan lainnya namun lagi lagi kembali ke posisi itu dengan
sendirinya. Siapa sebenarnya yang dimakamkan disana ?. yang pasti dia memang
berbeda.
Wallohua’lam
bishawab.
No comments:
Post a Comment