Puncak Gunung
Sangga Buana Karawang. Layaknya sebuah pemakaman di atas awan. Sederet kuburan
kuburan tua, beberapa diantaranya kini sudah dibangun berupa bangunan semi
permanen.
|
Makam – Mistis – Mitos
Gunung Sanggabuana (1291 mdpl) di
Kabupaten Karawang memang sangat identik dengan mistis, terkait dengan terdapat
sederetan makam makam tua yang dikeramatkan di puncak gunung tersebut. Berada
di puncak gunun ini serasa berziarah di makam makam yang berada di atas hamparan
awan. Sebagian besar dari pendaki ke gunung ini bukanlah pendaki biasa. Rata
rata sengaja datang kesana bukan sekedar untuk menikmati keindahan alam tapi
dengan berbagai niatan dan keperluan, terkait dengan ziarah makam yang ada
disana.
Makam keramat tidak hanya ada di
puncak gunung, tapi sekitar setengah perjalanan dari arah karawang kita akan
berjumpa dengan satu komplek makam tua yang disebut sebut sebagai makam
Langlangbuana. Malam hari ketika kami tiba di area tersebut aroma bau dupa
sontak menusuk hidung. Suara orang orang yang sedang khusu’ berzikir terdengar
santer dari dalam bilik makam.
Makam Langlangbuana berada di
bawah rimbun beberapa pohon yang tinggi besar menjulang. Tak jauh dari sungai
dengan pancuran yang terkenal dengan nama pancuran air mata ibu. Ada beberapa
pondokan tempat singgah sementara disana. Kang iing putra dari si Emak Kuncen
Makam dengan ramah menyambut siapapun yang lewat tempat tersebut seakan sudah
kenal lama.
Beberapa pendaki atau peziarah
sedang istirahat di pondokan dekat perapian disana juga dengan begitu ramah
menyapa kami bertiga. Kondisiku memang kontradiktif. Kedinginan tapi baju basah
kuyup oleh keringat, dan badan rasanya . . . . . Kuturuti saran dari beberapa
kenalan disana, baju basahku kugantung di atas perapian aku sendiri ngeloyor ke
pancuran dan jebar jebur mandi disana ditengah dinginnya malam, benar saja
badan terasa lebih segar ditambah lagi dengan segelas kopi panas sambil ngaso .
. . . .
Setengah dua belas malam lewat
beberapa menit kami baru tiba di puncak gunung ini. sangat lambat untuk ukuran
mereka yang sudah biasa mendaki, bahkan jauh lebih lambat dibandingkan dengan
dua pendaki yang salah satunya sudah sangat sepuh (alias sudah aki aki ) yang
menyalib kami saat separuh perjalanan.
Tak percuma perjuangan hanya
bermodal semangat pantang menyerah ahirnya sampai juga. Si Kakek dengan hangat
menyambutku ketika aku tiba di puncak, beliau sudah dengan santai menyantap
kambing bakar bersama sekelompok pendaki lainnya di salah satu pondokan disana.
Wuah.
Ada Apa di Puncak Sangga Buana ?
Seperti disebut di awal tadi,
mendaki ke gunung ini tak perlu bawa tenda. Di puncaknya ada dua warung yang
buka 24 jam. Dua-duanya menyediakan pondokan luas berlantai kayu setinggi
sekitar 75cm, berdinding bilik bambu dilapis terpal untuk mengurangi dampak
cuaca dingin puncak gunung. Dan yang paling menarik adalah, nginap disini gratis
Brow. Tapi jangan lupa tata krama dan sopan santun, yang namanya numpang ya
kudu permisi sama yang punya.
Ada simbiosis mutualisme diantara
para pendaki dan pemilik warung ini. para pendaki butuh shelter atau tempat
menginap sementara yang cukup nyaman dan tentu saja butuh konsumsi sementara
pemilik warung butuh pembeli bagi dagangannya. Klop kan !.
Selain dua bangunan warung besar
ini ada sederet bangunan semi permanen disana. Tapi itu bukan warung atau
bangunan tempat menginap melainkan bangunan makam. Dua shelter di dua warung
yang ada disana penuh oleh para pendaki yang numpang tidur. Dan jangan heran
diantara mereka juga ada anak anak yang ikut / di ajak orang tua mereka.
Siapa Saja Yang Bemakam di Puncak Sangga Buana
Sempat juga terpikir, dulu semasa
hidupnya kira kira mereka yang bermakam dipuncak gunung ini ngapain kesana ya
?. temenku dengan entengnya nyelentuk “bisa jadi mereka memang menyepi kesini
atau menhindari sesuatu, tinggal disana dan sudah terlalu tua untuk turun lagi,
sampai kemudian wafat disana dan tak memungkinkan untuk dibawa turun dan
dimakamkan disana deh”. Buruh sedikit belajar sejarah untuk memahami pertanyaan
sederhana itu.
Yang paling menarik dari makam
makam tua yang ada disana, ada satu makam dengan ukuran yang tidak lazim. Di
batu nisannya bertuliskan nama “Uyut Panjang”. teman seperjalananku bilang
bahwa nama aslinya adalah “Sri Baginda Maharaja” tapi karena makamnya yang
berukuran panjang itu makanya disebut Uyut Panjang lalu siapa pula Sri Baginda
Maharaja itu?.
Disebelah makam Uyut Panjang ada
bangunan semi permanen di dalamnya ada satu makam, makam Eyang Balung Nunggal
atau Balung Tunggal. Untuk yang satu ini memang agak membingunkan mengingat
begitu banyak situs di internet yang menyebutkan bahwa makam Balung Tunggal ada
di Sangkan Djaya, Sumedang, seperti disebutkan di saungdedimlyd.web.id dan
sumedangonline.com.
Ceriwis.com memberikan penjelasan
lebih rinci dengan penjelasan :
“Menurut data yang dikeluarkan
oleh Yayasan Pangeran Sumedang, orang-orang sakti yang dimakamkan di Ciburial
adalah makam Balung Nunggal, manusia tanpa pusar, Dalem Kula Nata Salam Kusuma,
biasa disebut Mbah Sadim, Petilasan Tajimalela bahkan pengusaha besar era tahun
80-an, Haji Karya, keturunan ketujuh Mbah Dalem Sadim yang dimakamkan
berdampingan”.
Bangunan makam yang lainnya
bertuliskan nama Kiai Bagaswara di pintu masuknya sementara di batu nisannya
sendiri tanpa nama. Siapa Kiai Bagaswara ? sayapun tidak tahu, nama itu
merupakan tokoh dalam komik Api Di Bukit Manoreh karya S. Mintarja, Orang itu
kah?. Masih ada beberapa bangunan bangunan makam lainnya mulai dari yang
berukuran cukup lapang sampai yang berukuran kecil dan tidak semua makam
tersebut dilengkapi dengan nama.
Salah satu yang paling menarik
adalah salah satu bangunan makam di ujung timur komplek makam ini yang
bertuliskan “Eyang Saritem, dibangun tgl 11 bln 6 2003”. Saya sebut menarik
karena nama Saritem nya itu loh. Nama itu identik dengan nama ruas jalan kecil
di pusat kota Bandung yang sempat menjadi pusat prostitusi. Ada hubungannya ?.
masak iya.
Sejauh ini saya belum menemukan
literatur yang menjelaskan secara rinci siapa saja yang bermakam di puncak
Gunung Sanggabuana itu, siapakah mereka dan mengapa mereka bermakam disana ?.
Hanya saja, dalam dunia kebathinan yang disebut Makam atau Makom tidak selalu
bermakna Kuburan, bisa juga bermakna Petilasan atau tempat yang pernah
disinggahi.
Maka : Makam atau Maqom Uyut
Panjang tidak serta merta bangunan kubur yang ada disana merupakan kuburan dari
yang bersangkutan, bisa jadi merupakan petilasan atau dulunya semasa hidupnya
pernah singgah disana atau tapa disana. Lalu generasi setelah dial ah yang
kemudian membangun kuburan disana untuk mengenang beliau yang pernah singgah
disana. Makanya kadangkala satu orang bisa memiliki begitu banyak makam alias
maqom. Hanya saja, seiring perjalanan waktu informasi tentang hal tersebut
menjadi samar kadangkala bahkan sirna sama sekali sehingga terjadi kesalahan
penafsiran. Wallohua’lam.
Pohon Kemenyan, Mati merana karena wanginya
Sebenarnya semerbak bau kemenyan
sudah tercium di malam hari sepanjang perjalanan mendaki puncak gunung ini.
hanya saja tak sempat berpikir macam macam karena konsentrasi terkuras pada
usaha mengalahkan beratnya medan untuk sampai ke puncak, apalagi untuk mencari
tahu darimana sumber aroma kemenyan yang semerbak mewangi itu.
Ke-esokan harinya dalam
perjalanan pulang, pertanyaan sekilas dalam hati itu terjawab. Seorang pendaki
yang sengaja naik ke gunung ini untuk berziarah turun bersama kami serombongan
dengan para pria yang rata rata sudah berusia matang, diantaranya bahkan ada
kakek kakek yang sengaja bergabung bersama kami supaya ada teman sesama
ngesoter’s alias yang jalannya alon alon asal kelakon.
Ternyata semerbak aroma kemenyan
yang kami cium tadi malam berasal dari pohon kemenyan yang memang bertebaran
tumbuh liar di hutan gunung ini. Pohon kemenyan putih memiliki postur yang
sangat besar dan tinggi, salah satu peziarah itu yang menunjukkan pohon pohon
tersebut kepada kami. Aroma semerbak itu berasal dari getah pohon ini.
Hanya saja sangat disayangkan,
pohon pohon tua itu banyak yang mati merana karena di kuliti oleh orang orang
tak bertanggung jawab untuk mengambil getahnya. Getah pohon ini yang kemudian
membeku seperti batu dan dijual sebagai kemenyan. Jangan sampai terkecoh dengan
fungsi kemenyan semata mata sebagai propertinya paranormal atau dukun.
Kemenyan memiliki banyak kegunaan
termasuk didalamnya dijadikan bahan untuk minyak wangi, kosmetik dan lainnya.
Di beberapa kabupaten di Propinsi Sumatera Utara, getah kemenyan bahkan menjadi
salah satu komuditas ekport andalan, disamping untuk memenuhi permintaan pasar
local.
Proses penyadapan getah pohon
kemenyan bila dilakukan dengan baik dan benar tidak akan sampai menyebabkan
kematian pohonya, namun yang terjadi pada beberapa pohon kemenyan di hutan
Gunung Sanggabuana ini, para penjarah itu menguliti pohon bagian bawah hingga
menghabiskan seluruh cambium yang ada. Itu sebabnya beberaa pohon langka ini
ahirnya mati merana justru karena aroma wanginya. Sesuatu yang memang sangat
disayangkan.***
Taken from: catatan hendra jailani @hendrajailani.blogspot.com